Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa melakukan qiyam Ramadhan karena iman dan mencari pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 37 dan Muslim no. 759). Yang dimaksud qiyam Ramadhan adalah shalat tarawih sebagaimana yang dituturkan oleh Imam Nawawi (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6:39). Hadits ini memberitahukan bahwa shalat tarawih bisa menggugurkan dosa dengan syarat dilakukan karena iman yaitu membenarkan pahala yang dijanjikan oleh Allah dan mencari pahala dari Allah, bukan karena riya’ atau alasan lainnya (Lihat Fathul Bari, 4:251). Imam Nawawi menjelaskan, “Yang sudah ma’ruf di kalangan fuqoha bahwa pengampunan dosa yang dimaksudkan di sini adalah dosa kecil, bukan dosa besar. Dan mungkin saja dosa besar ikut terampuni jika seseorang benar-benar menjauhi dosa kecil.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6:40).
Yang dimaksud di sini adalah shalat yang mendapatkan janji untuk diampuni. Penamaan shalat tersebut dengan ‘Qiyaam’ diambil dari sisi sebagian rukun-rukunnya sebagaimana ia juga dinamakan dengan ruku’. Allah Ta’ala berfirman, “Dan ruku’lah (shalatlah secara berejama’ah) beserta orang-orang yang ruku’.” (Qs.al-Baqarah:43). Ia juga dinamakan dengan sujud seperti firman Allah SWT, “Dan sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) diseru untuk bersujud dan mereka dalam keadaan sejahtera.” (Qs.al-Qalam:43)
Rasulullah SAW bersabda, “Bantulah aku atas dirimu dengan memperbanyak sujud.”
Barangkali penamaan tersebut diberikan agar sesuai dengan keistimewaan yang dimilikinya berupa aktifitas memperbanyak bacaan al-Qur’an dan memperlama berdiri (Qiyaam).
Keutamaan Qiyamullail
Allah Ta’ala berfirman, “Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam.” (Qs.adz-Dzaariyaat:17). Dan firman-Nya, ”Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya sedang mereka berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka. Seseorang tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (Qs.as-Sajdah:16)
Dalam kitab ash-Shahihain, dari Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, ‘Wahai Abdullah, janganlah kamu seperti si fulan yang dulu pernah melakukan qiyamullail (shalat tahajjud) lalu meninggalkannya.”
Di dalam sunan at-Turmudzy dengan sanad yang sahih, dari Abdullah bin Sallam bahwasanya Nabi SAW bersabda, “Tebarkanlah salam, berilah makanan, sambunglah tali rahim dan shalatlah di malam hari saat manusia sedang terlelap tidur; pasti kalian masuk surga dengan penuh kedamaian.”
Demikian juga, di dalam kitab as-Sunan dari Abu Hurairah, bahwasanya Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya dalam satu malam itu terdapat waktu yang tidaklah seorang hamba Muslim mendapatkan taufiq padanya dengan memohon kebaikan dari perkara dunia dan akhirat kepada Allah melainkan Dia akan memberikan kepadanya.”
Di dalam Musnad Ahmad, sunan at-Turmudzy, al-Mustadrak karya al-Hakim dan kitab lainnya, bahwasanya Nabi SAW bersabda, “Hendaklah kalian melakukan qiyamullail, sebab ia adalah tradisi orang-orang shalih sebelum kamu, pendekatan diri kepada Rabb kamu, penebus dosa-dosa (kecil) dan pencegah dari melakukan dosa.”
Dan banyak lagi ayat-ayat, hadits-hadits serta atsar-atsar yang menunjukkan keutamaan Qiyamullail dan anjuran untuk melakukannya, segala puji bagi Allah.
Qiyam Ramadhan
Yang dimaksud dengan Qiyam di sini adalah shalat tarawih. Hal ini seperti hadits yang dikeluarkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim, dari ‘Asyah RA, ia berkata, “Suatu malam di bulan Ramadhan, Nabi SAW melakukan shalat di masjid bersama beberapa orang. Kemudian beliau melakukannya lagi di malam kedua lalu berkumpullah orang dalam jumlah yang lebih banyak dari malam pertama. Maka tatkala pada malam ketiga dan keempatnya, penuhlah masjid oleh manusia hingga menjadi sesak. Karena itu, beliau tidak jadi keluar menemui mereka. Orang-orang memanggil beliau, lalu beliau berkata, “Ketahuilah, perkara yang kalian lakukan itu tidaklah tersembunyi bagiku (pahala, sisi positifnya), akan tetapi aku khawatir akan dicatat sebagai kewajiban bagi kalian nantinya.” Di dalam riwayat al-Bukhari terdapat tambahan, “Lalu Rasulullah SAW pun wafat dan kondisinya tetap seperti itu (tidak dilakukan secara berjema’ah di masjid-red).”
Imam an-Nasa’i mengeluarkan dari jalur Yunus bin Yazid, dari az-Zuhri dengan redaksi “Jazm” (pasti) bahwa malam di mana Rasulullah SAW tidak keluar tersebut adalah malam keempat.”
Imam at-Turmudzy meriwayatkan dengan sanad yang sahih, dari Abu Dzar, ia berkata, “Di kala kami berpuasa Ramadhan bersama Rasulullah SAW, beliau tidak melakukan Qiyamullail bersama kami dari bulan itu hingga tersisa tujuh hari lagi, lalu ia melakukannya bersama kami hingga melewati sepertiga malam. Pada malam kelimanya, ia melakukannya lagi bersama kami hingga melewati separuh malam. Lalu aku bertanya kepadanya, ‘Wahai Rasulllah, andai dengan sukarela engkau melakukan Qiyamullail bersama kami malam ini.’ Beliau menjawab, ‘Bila seseorang shalat bersama imam hingga ia keluar (berlalu), maka telah dihitung baginya Qiyam semalam penuh.’ Maka tatkala pada malam ketiganya, beliau mengumpulkan keluarganya dan orang-orang, lantas melakukan qiyamullail bersama kami hingga kami khawatir ketinggalan sahur. Kemudian pada sisa hari bulan itu beliau tidak lagi melakukannya bersama kami.”
Ibn ‘Abdil Barr berkata, “Ini semua menunjukkan bahwa pelaksanaan Qiyam Ramadhan boleh dinisbatkan kepada Nabi SAW sebab beliaulah yang menganjurkan dan mengamalkannya. Sedangkan yang dilakukan ‘Umar hanyalah upaya menghidupkan kembali apa yang telah menjadi sunnah Rasulullah SAW.”
Al-‘Iraqi berkata di dalam kitabnya Tharh at-Tatsrib, “Hadits ‘Aisyah dapat dijadikan dalil bahwa Qiyam Ramadhan lebih utama dilakukan di masjid secara berjema’ah karena Rasulullah SAW melakukannya. Beliau meninggalkan hal itu karena takut ia menjadi suatu kewajiban nantinya sementara setelah beliau wafat, maka sudah dapat terhindar dari jatuhnya hal tersebut sebagai kewajiban.”
Inilah pendapat jumhur ulama kaum Muslimin, di antaranya tiga imam madzhab; Abu Hanifah, asy-Syafi’i dan Ahmad. Hal ini kemudian telah menjadi syiar yang nampak (ditonjolkan).
Bilangan Raka’atnya
Al-‘Iraqi berkata, “Dalam hadits di atas, tidak dijelaskan bilangan raka’at yang dikerjakan Rasulullah SAW pada beberapa malam tersebut di masjid. ‘Aisyah RA telah mengatakan, ‘Baik di bulan Ramadhan mau pun lainnya, Nabi SAW tidak menambah lebih dari 11 raka’at.’ Secara implisit, bahwa demikian pulalah yang dilakukan beliau di tempat tersebut (ketika malam itu). Akan tetapi ketika ‘Umar mengumpulkan orang-orang untuk melakukan shalat tarawih di bulan Ramadhan dengan mengikuti Ubay bin Ka’b, maka ia melakukannya bersama mereka sebanyak 20 raka’at selain witir, yaitu 3 raka’at. Pendapat seperti ini dipegang oleh imam-imam madzhab seperti Abu Hanifah, asy-Syafi’i dan Ahmad. Juga diambl oleh imam ats-Tsauri dan jumhur ulama.”
Ibn ‘Abdil Barr berkata, “Ini adalah pendapat jumhur ulama dan pendapat yang kami pilih. Mereka menilai apa yang terjadi pada masa ‘Umar itu sebagai ijma’ (konsensus).”
Syaikhul Islam, Ibn Taimiyah berkata, “Nabi SAW belum pernah menentukan bilangan tertentu terhadap Qiyam Ramadhan itu sendiri. Malahan, beliau melakukan tidak lebih dari 13 raka’at namun memperpanjang (memperlama) raka’at-raka’atnya. Tatkala ‘Umar mengumpulkan umat dengan mengikuti Ubay bin Ka’ab (sebagai imam), ia melakukan shalat itu sebanyak 20 raka’at, kemudian witir 3 raka’at, meringankan bacaan seukuran tambahan raka’atnya karena hal itu lebih ringan bagi para makmum daripada memperpanjang (memperlama) per-raka’atnya. Artinya, seseorang boleh melakukannya sebanyak 20 raka’at sebagaimana pendapat yang masyhur dari Ahmad dan asy-Syafi’i. Ia juga boleh melakukannya dengan 36 raka’at seperti pendapat imam Malik dan ia juga boleh melakukannya sebanyak 11 raka’at. Dengan demikian, memperbanyak raka’at atau menguranginya tergantung kepada panjang-pendeknya Qiyam itu. Sebaiknya, disesuaikan dengan perbedaan kondisi jema’ah shalat; jika di antara mereka ada yang mampu untuk memperpanjang Qiyam dengan 10 raka’at plus 3 raka’at setelahnya; maka ini lebih baik dan jika tidak mampu, maka qiyam dengan 20 raka’at tersebut lebih baik. Inilah yang dilakukan kebanyakan kaum Muslimin dan tidak dibenci sesuatu pun darinya.”
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Ali Syaikh (mantan Mufti Arab Saudi-red) berkata, “Kebanyakan ulama seperti imam Abu Hanifah, asy-Syafi’i dan Ahmad berpendapat bahwa shalat tarawih adalah 20 raka’at sebab ketika ‘Umar mengumpulkan umat dengan mengikuti Ubay bin Ka’b, ia melakukan shalat tersebut bersama mereka sebanyak 20 raka’at. Ini dilakukan di tengah kehadiran para shahabat yang lain sehingga menjadi ijma’. Karenanya, umat pun mengamalkan hal itu. Jadi, tidak semestinya mereka yang melakukan hal itu diingkari tetapi biarkan mereka melakukan seperti itu.” Wallahul Muwaffiq
INTISARI HADITS
1. Makna Qiyam Ramadhan adalah menghidupkan malam itu dengan ibadah dan shalat. Hadits di atas (yang kita kaji ini) menunjukkan disyari’atkannya shalat malam di bulan Ramadhan. Shalat tersebut secara valid telah dilakukan Rasulullah SAW di masjid, lalu pada masa ‘Umar para shahabat telah bersepakat atasnya, untuk selanjutnya dilaksanakan oleh seluruh kaum Muslimin setelah itu. Mereka mendirikan shalat tarawih.
2. Balasan Qiyam Ramadhan adalah ampunan dosa dan penghapusan dosa-dosa kecil. Tetapi ini dikaitkan dengan pengampunan dosa-dosa kecil yang berhubungan dengan hak Allah. Penyebutan dengan kata ‘Zanb’ (dosa) mencakup dosa besar dan kecil akan tetapi Imam al-Haramain telah memastikan bahwa hal itu hanya khusus dengan dosa-dosa kecil saja. Al-Qadhi ‘Iyadh menisbatkan pendapatkan ini kepada Ahlussunnah. Imam an-Nawawi berkata, “Bila tidak ada dosa kecil, maka diharapkan dosa-dosa besarnya diringankan.”
3. Diterimanya shalat malam itu dan diraihnya penghapusan dosa-dosa kecil bisa terealisasi bila terpenuhi dua persyaratan: Pertama, bila yang mendorong seseorang melakukan Qiyamullail itu adalah iman dan pembenaran akan pahala Allah SWT. Kedua, mengharap pahala amalan tersebut di sisi Alllah, ikhlas karena Allah. Bila suatu amalan kehilangan dua syarat penting ini, lalu disusupi oleh riya’ dan sikap berbangga-bangga; maka ia menjadi batal dan tertolak atas pelakunya, bahkan karenanya ia akan mendapatkan celaan dan siksa.
4. al-Karmani meriwayatkan adanya kesepakatan ulama bahwa yang dimaksud dengan Qiyamullail itu adalah shalat tarawih dan keutamaan ini didapat dengan apa pun bentuk qiyam (berdiri untuk shalat).
5. Hadits tersebut menunjukkan keutamaan Qiyam Ramadhan, bahwa ia sangat dianjurkan sekali, demikian pula dengan shalat tarawih secara berjema’ah di masjid. Syaikhul Islam, Ibn Taimiyah dan ulama lainnya mengatakan, dulu di masa Nabi SAW, para shahabat melakukannya di masjid secara terpisah-pisah, dalam beberapa kelompok/jema’ah yang berbeda dan hal itu dilakukan atas sepengetahuan beliau SAW dan atas persetujuannya. Berdasarkan banyak hadits, shalat tarawih lebih baik dikerjakan secara berjema’ah daripada secara sendirian dan hal itu merupakan ijma’ para shahabat dan seluruh penduduk negeri Islam. Itu juga adalah pendapat jumhur ulama.
6. Syaikhul Islam, Ibn Taimiyah berkata, “Shalat yang tidak disunnahkan dilakukan dengan berjema’ah secara tetap adalah seperti qiyamullail (tahajjud), sunnah-sunnah rawatib, shalat dhuha, tahiyyatul masjid dan lainnya. Tapi, boleh dilakukan berjema’ah untuk kadang waktu (tidak dirutinkan). Ada pun menjadikannya sebagai sunnah yang ratib/tetap (secara rutin) maka termasuk bid’ah yang dibenci.
(SUMBER: Tawdhiih al-Ahkaam Syarh Buluugh al-Maraam karya Syaikh Abdullah al-Bassam, Jld.III, hal.215-219
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar anda di sini